BentengNews.com- Dalam ilmu kedokteran tidur, mimpi buruk memiliki definisi yang lebih ketat daripada apa yang kita kenali sehari-hari. Definisi ini membantu membedakan mimpi buruk dari mimpi buruk biasa (bad dreams).
Meskipun keduanya melibatkan konten mimpi yang mengganggu, hanya mimpi buruk yang membuat kita terbangun dari tidur.
Mimpi buruk adalah mimpi nyata yang mungkin mengancam, menjengkelkan, aneh, atau mengganggu. Mimpi buruk lebih sering terjadi selama tidur gerakan mata cepat (REM), tahap tidur yang berhubungan dengan mimpi yang intens. Mimpi buruk muncul lebih sering pada paruh kedua malam ketika lebih banyak waktu dihabiskan dalam tidur REM.
Setelah terbangun dari mimpi buruk, wajar untuk menyadari apa yang terjadi dalam mimpi, dan banyak orang merasa kesal atau cemas. Gejala fisik seperti perubahan detak jantung atau berkeringat juga akan dirasakan setelah bangun tidur.
Apa penyebab mimpi buruk
Tidak ada penjelasan yang disepakati bersama tentang mengapa kita mengalami mimpi buruk. Faktanya, terdapat perdebatan yang sedang berlangsung dalam ilmu kedokteran tidur dan ilmu saraf tentang mengapa kita bermimpi.
Banyak ahli percaya bahwa bermimpi adalah bagian dari metode pikiran untuk memproses emosi dan mengkonsolidasikan ingatan.
Mimpi buruk, dengan demikian, mungkin merupakan komponen respons emosional terhadap rasa takut dan trauma. Tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan secara pasti mengapa mimpi buruk terjadi.
Ada beberapa faktoryang dapat berkontribusi pada risiko terjadinya mimpi buruk:
- Stres dan kecemasan: Situasi sedih, traumatis, atau mengkhawatirkan yang memicu stres dan ketakutan dapat memicu mimpi buruk. Orang dengan stres dan kecemasan kronis mungkin lebih mungkin mengalami gangguan mimpi buruk.
- Kondisi kesehatan mental: Mimpi buruk sering dilaporkan oleh orang dengan gangguan kesehatan mental seperti gangguan stres pascatrauma (PTSD). Orang dengan PTSD sering mengalami mimpi buruk yang sering dan intens sehingga membangkitkan kembali peristiwa traumatis, memperburuk gejala PTSD, dan seringkali memicu insomnia.
- Obat-obatan tertentu: Menggunakan beberapa jenis zat terlarang atau obat resep yang memengaruhi sistem saraf dikaitkan dengan risiko mimpi buruk yang lebih tinggi.
- Berhenti menggunakan beberapa obat: Beberapa obat menekan tidur REM, sehingga ketika seseorang berhenti mengonsumsi obat-obatan tersebut, terdapat efek rebound jangka pendek berupa tidur REM yang lebih lama disertai dengan lebih banyak mimpi buruk.
- Kurang tidur: Setelah periode kurang tidur, seseorang sering mengalami rebound REM yang dapat memicu mimpi buruk dan mimpi buruk yang nyata.
- Riwayat keluarga: Meskipun belum sepenuhnya dipahami, mungkin terdapat predisposisi genetik yang membuat mimpi buruk lebih mungkin terjadi dalam keluarga. Hubungan ini mungkin didorong oleh faktor risiko genetik untuk kondisi kesehatan mental yang terkait dengan mimpi buruk.
- Riwayat sering mimpi buruk: Pada orang dewasa, faktor risiko terjadinya gangguan mimpi buruk adalah riwayat mimpi buruk yang berulang selama masa kanak-kanak dan remaja.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa orang yang mengalami mimpi buruk mungkin mengalami perubahan arsitektur tidur, yang berarti bahwa mereka mengalami perkembangan abnormal melalui tahapan tidur.
Beberapa penelitian juga menemukan korelasi antara mimpi buruk dan apnea tidur obstruktif (OSA), gangguan pernapasan yang menyebabkan tidur terfragmentasi, meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas hubungan ini.(*)